Kejayaan Nusantara sebagai kekuatan maritim dunia tercatat sejak dulu kala. Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M) misalnya, telah mendasarkan kebijakan pemerintahannya pada penguasaan alur pelayaran, jalur perdagangan, serta wilayah-wilayah strategis sebagai pangkalan kekuatan laut. Nakhoda Nusantara di bawah Kertanegara mengalami kejayaan maritim yang besar dan kuat dengan konsepsi Cakrawala Mandala Dwipantara, sedang konsep besar pun terwujud pada masa Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada. Demikian pun pada masa Kerajaan Sriwijaya, hingga Kesultanan Demak, Nusantara merupakan negara maritim yang kuat. Beberapa rekam sejarah diatas sudah dapat memberikan bukti bahwa pada saat itu, Nusantara berhasil memak-simalkan laut untuk memperluas pengaruhnya di berbagai kawasan strategis dunia.
Pada masa revolusi kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa 21 Agustus 1945 atau 4 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah hari ketika kekuatan angkatan laut Republik Indonesia berhasil mengambilalih kekuasan militer laut Jepang. Dengan peralatan sederhana, militer Indonesia dapat mengalahkan Jepang yang sudah menggunakan peralatan yang jauh lebih mutakhir kala itu. Tanggal 21 Agustus, kemudian diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Namun mungkin banyak dari kita yang tidak tahu tentang hal ini.
Sejarah sudah membuktikan bahwa kelautan Indonesia sangat disegani bangsa lain bukan hanya kekayaan bawah lautnya tapi juga kekuatan maritimnya.
Pada era awal kemerdekaan RI semangat mengembalikan kejayaan bangsa maritim sudah diserukan. Presiden Soekarno. dalam salah satu pidato yang disampaikannya pada saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya (1953) berpesan, agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Kekuatan Maritim harus dipertimbangkan mengingat hampir 75 persen wilayah Indonesia berupa laut. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga luasnya berupa lautan. Hal itu bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia yang mencapai sekira 81.000 km dan menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
DEKLARASI DJUANDA
Status negara kepulauan didapat melalui perjalanan sejarah yang panjang. Hal itu diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang diakui sebagai kebijakan kelautan Indonesia pertama. Kala itu, Indonesia merasa kebijakan kelautan warisan masa kolonial sudah tidak sesuai lagi dengan konsep Tanah Air yang mene-kankan keterpaduan tanah dan air sebagai kekuatan nasional bangsa Indonesia.
Didasari kesadaran akan ancaman yang mungkin timbul karena faktanya wilayah laut Indonesia merupakan wilayah terbuka, sehingga dengan leluasa kekayaan laut Indonesia berpotensi dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindungi, Deklarasi Juanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Isi Deklarasi Juanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja adalah sbb:
1. Bahwa Indonesia menya-takan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengan-dung suatu tujuan:
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat;
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan;
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet itu kemudian menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie pada 1939 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939, yang dijiwai prinsip Mare Liberum (Freedom of The Sea) dari seorang genius hukum dan juga bapak hukum internasional asal Belanda, Hugo Grotius (1604). Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung. Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar. Faktanya, pada waktu itu banyak kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum teritorial laut 1939.
Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/ PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Meskipun awalnya mendapat penolakan dunia internasional, tetapi akhirnya mendapat respons pada pengakuan internasional melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut di Montego Bay Jamaica tahun 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982).
Pemerintah Indonesia pun meratifikasi UNCLOS 1982 dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention of the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang hukum laut). UNCLOS 1982 merupakan bentuk pengakuan formal dari dunia terhadap kedaulatan NKRI sebagai negara kepulauan dan mulai berlaku sebagai hukum positf sejak 16 November 1994. Artinya, butuh 37 tahun Deklarasi Djuanda diakui oleh dunia internasional. Deklarasi Djuanda menjadikan luas perairan NKRI mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2, merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas wilayah Indonesia keseluruhan.
Berkat Deklarasi Djuanda, laut kini menjadi penghubung antar-bangsa, antar-pulau. Deklarasi Djuanda menegaskan antara darat, laut, dasar laut, udara, dan seluruh kekayaan, semua dalam satu kesatuan wilayah Indonesia. Pada masa Belanda, bahwa yang dimaksud tanah air, hanya tanah dan air yang ada di darat, dan di sepanjang pantai. Namun, Djuanda melihat jauh ke depan. Dia berani mengumumkan kepada dunia bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda telah mencatatkan sejarah kegemilangan bangsa dalam menaklukkan dunia tanpa kekuatan senjata tetapi dengan kepiawaian berdiplomasi. Deklarasi ini memberikan kemerdekaan Indonesia seutuhnya secara kewilayahan dan menjadikannya sebuah kesatuan dalam bingkai wawasan Nusantara.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
Dalam konteks bangsa Indonesia sekarang, peringatan ini menemukan momentum yang sangat penting. Sesuai dengan visi pemerintah di bawah nahkoda Presiden Joko Widodo mewujud-kan poros maritim dan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai kekuatan sosial politik utama di dunia berbasis kekuatan maritim. Saatnya kita mulai menata kembali untuk bisa mengembalikan jiwa kebaharian dan melaksanakan pembangunan kelautan. (*)
EDITOR: TRY RAHARJO
Dari berbagai sumber