Cintailah budaya Banyumasan. Ketidakpedulian pada budaya Banyumasan bisa menjadi penyebab nyaris punahnya kesenian dan budaya asli Banyumas. Perlu diketahui, dari sekitar 58 kesenian dan budaya asli Banyumas yang merupakan ciptaan dan kebiasaan masyarakat, hanya tersisa empat jenis kesenian dan budaya asli Banyumas yang masih eksis.
Kepala Seksi Kesenian Sastra dan Perfileman Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Banyumas Kasirun menjelaskan, dari 58 seni budaya tersebut, hanya kesenian Kenthongan, Ebeg, Lengger dan Wayang Kulit Gagrak Banyumas yang masih aktif. Meski masih terbilang eksis, keempat kesenian tersebut pun mengalami kesulitan dalam beregenerasi.
"Pementasan terhadap empat kesenian tersebut saat ini masih cukup rutin. Mulai dari even budaya, acara-acara pemerintahan atau swasta, hingga yang bersifat spontan seperti mengamen. Ada unsur atraktif di kesenian-kesenian tersebut sehingga masyarakat dan pelaku seni menyukainya," kata Kasirun, seperti dilansir indopos.co.id
Rendahnya unsur atraktif inilah yang diduga menjadi faktor pendorong 54 jenis kesenian lokal Banyumas ke arah kepu-nahan. Sebut saja kesenian Gubrak Lesung. Nilai atraktif kesenian ini bisa dibilang hampir tidak kentara karena hanya menyuguhkan harmonisasi suara alat penumbuk padi (lesung) yang dimainkan beramai-ramai. Apalagi sejak diterap-kannya teknologi pengolahan hasil pertanian, alat lesung tidak lagi digunakan masyarakat petani untuk menumbuk padi.
Sesekali, beberapa kesenian khas masyarakat petani pedesaan Banyumas seperti Gubrak Lesung memang ditampilkan dalam pagelaran budaya atau hari jadi Kabupaten Banyumas. Hanya saja, antusias masyarakat hanya berlangsung singkat. Setelah menyaksikan selama beberapa menit, penonton mulai bosan dan beralih menyaksikan lengger atau ebeg yang dinilai lebih atraktif dan menghibur.
Menurut Kasirun, upaya pelestarian terhadap kesenian yang hampir punah ini sudah lama dilakukan. Hanya saja lokasinya terpisah-pisah. Contohnya kesenian Bongkelan, Brahen, Rinding dan Gubrak Lesung yang masih bisa disaksikan di pedesaan Kecamatan Gumelar. Demikian juga dengan kesenian Sintren. Karena sifatnya yang sakral, Sintren hanya ditampilkan di Desa Tlaga setiap perayaan Bulan Suro.
"Dari beberapa pengalaman tersebut, kami menyimpulkan, eksistensi seni budaya saat ini ter-gantung pada sejauh mana penonton bisa menikmatinya. Maka dari itu, memang tidak semua jenis kesenian khas wilayah kami bisa ditampilkan di berbagai even atau tempat wisata. Bukan karena tidak estetik, namun karena dianggap kurang nilai hiburan dan atraktifnya," ujar Kasirun.
Diakuinya, bukan hal mudah untuk dapat menyelamatkan 54 seni budaya lokal Banyumas dari kepunahan. Apalagi animo generasi muda terhadap kesenian lokal sudah memudar. "Meski berat, tapi di desa-desa sentra kesenian ini masih ada banyak pelaku. Kepada mereka kami memang menaruh harapan agar kesenian lokal ini tidak sampai punah. Toh pemkab siap memfasilitasi berbagai kebutuhan agar regenerasi kesenian tersebut bisa jalan lagi," katanya.
sumber: jurnas.com, indopos.co.id
No comments:
Post a Comment