Penggunaan Media Sosial di Indonesia


Jumlah pengguna internet di Indonesia semakin hari semakin banyak, demikian juga jumlah pengguna media sosial (medsos).  Seperti dilaporkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Internet Indonesia (APJII) dalam survei terbaru yang dirilis pada 24 Oktober 2016, jumlah total pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 132,7 juta (51,8) persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini naik cukup tinggi dibandingkan hasil survei tahun 2014 yang waktu itu baru menunjukkan jumlah pengguna internet Indonesia sebesar 88 juta orang. Namun perkembangan yang begitu pesat dalam penggunaan medsos ini belum diikuti pemahaman menggunakan medsos secara baik. Liputan Khusus kali ini dimaksudkan untuk mendorong penggunaan medsos yang sehat dan bermanfaat.
Terkait dengan masih kurangnya pemahaman menggunakan media sosial (medsos) secara sehat, maka seperti dilaporkan Tempo.co pada saat peringatan hari guru nasional  beberapa waktu lalu (27/12) di Bogor, Jawa Barat, Presiden Jokowi bahkan sempat menyebutkan bahwa media sosial kita sudah banyak memuat caci maki, fitnah dan adu domba. sehingga pada era sekarang pendidikan etika di media sosial perlu dimasukkan ke dalam pendidikan di sekolah. 
Sudah banyak juga kejahatan-kejahatan yang berawal dari penggunaan media sosial yang berupa penipuan, penculikan, bahkan perdebatan tidak sehat, yang akhirnya berujung pada hukuman penjara. Oleh karena itu perlu diingatkan bahwa dalam menggunakan media sosial seperti facebook dsb kita harus juga tetap menjaga adab sopan santun (etika) agar  terhindar dari sanksi hukum. 
Seperti dilaporkan oleh rappler.com, dalam sesi diskusi Digital Ethics in Indonesia di Balai Kartini Jakarta (17/11/2016) dalam rangkaian acara Tech in Asia Jakarta 2016, dikatakan bahwa media sosial saat ini sudah memiliki pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat. Bahkan sekarang ini peran media sosial juga sudah mulai sedikit demi sedikit bergeser. Bukan saja digunakan untuk menunjukkan eksistensi pengguna (misalnya foto-foto "narsis") tapi juga sudah mulai digunakan untuk kepentingan politik. Tapi kemudian  banyak pengguna media sosial yang harus berurusan dengan hukum karena "menyalahgunakan" media sosialnya.
Lebih dari 200 netizen (pengguna internet) masuk penjara, demikian dikatakan oleh pendiri Forum of Digital Democracy yaitu Damar Juniarto, sebagai salah satu narasumber diskusi tersebut, menyikapi banyaknya penyalahgunaan media sosial. 

BERITA PALSU ATAU HOAX
Salah satu sisi negatif dari penggunaan media sosial adalah beredarnya berita palsu (hoax) yang secara sengaja atau tidak sengaja disebarkan di tengah masyarakat. 
Seperti kami kutip dari nu.or.id, menurut Ismail Cawidu, seorang ahli informasi publik dari Ditjen Informasi dan Komunikasi dari Kominfo, berita palsu (hoax) itu bukan hanya tulisan, tapi termasuk juga foto, video, yang isinya tidak mengandung kebenaran. Misalnya, sebuah foto korban kecelakaan lalulintas yang oleh pelaku penyebar hoax diberi keterangan telah terjadi kerusuhan sehingga menyebabkan jatuhnya korban, dengan maksud awal mungkin sebagai sebuah lelucon atau bentuk jahil semata. Namun karena hal itu bisa dilihat oleh pengguna-pengguna media sosial lain, maka foto tersebut dapat menimbulkan keresahan. 
Menurut Ismail Cawidu yang juga dosen UIN Jakarta ini, berikut ini adalah beberapa cara untuk mengenali berita palsu (hoax), "Pertama, biasanya berita-berita itu ada kata-kata di bawahnya "Agar disebarluaskan". Itu pasti. Itu ciri pertama. "Agar di-share, jangan berhenti di anda..."
Kemudian untuk menguji apakah itu adalah hoax atau bukan hoax, pembaca harus membuka media lain apakah berita tersebut dimuat atau tidak.Kalau tidak dimuat, bisa dipastikan salah ciri berita itu hoax.
"Kemudian dari penggunaan kalimat. Biasanya bahasa-bahasanya itu dalam bahasa yang instruktif (mengandung instruksi), bahasa-bahasa yang tidak biasa seperti sebuah layaknya berita bagus," lanjutnya. Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku, banyak menggunakan singkatan, dan banyak salah ketik adalah bebrapa ciri yang juga mudah dikenali. 

PENYEBAB HOAX TERSEBAR 
Penyebab terjadinya penyebaran adalah karena dalam membagikan informasi di media sosial, para pengguna media sosial sering tidak memeriksa terlebih dahulu dengan mencari tahu dari sumber-sumber berita lain yang terpercaya.
Banyak berita yang tidak terkualifikasi, tapi banyak disebarkan oleh orang. Mereka berbagi artikel yang mempengaruhi emosi mereka, tapi tidak dilakukan check and balance sebelum membagikannya, kata Abdul Qowi Bastian (editor Rappler Indonesia), yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.
Saya ingin memberikan saran, jika kita ingin membagikan opini kita, buatlah itu secara bebas dan bertang-gung jawab. Bertanggung jawab di sini berarti kita telah mengecek kebenarannya dan kita membagikannya tidak dalam emosi, kata Damar.

PEDOMAN "EKSIS" DI MEDIA SOSIAL
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan media sosial.
1. Sopan santun (etika) berkomunikasi. 
Dalam berkomunikasi di media sosial kata-kata kasar, sengaja ataupun tidak sengaja, kadang muncul dalam percakapan di media sosial. Ini karena dalam berkomunikasi di media sosial, pengguna tidak saling bertemu langsung dengan pengguna media sosial lainnya, sehingga pengguna sering tidak memahami perasaan orang lain yang dapat membaca kata-katanya di media sosial. Apalagi memang banyak diantara kita yang sudah melupakan adab sopan santun (etika). Jadi kendalikan emosi anda, tetap gunakan kata-kata yang pantas dan sopan pada akun-akun media sosial yang kita miliki.
2. Jangan menyebarkan informasi berita atau foto yang mengan-dung muatan kebencian SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), dan hindari juga menyebarkan materi pornografi di media sosial. 
Sebarkanlah hal-hal yang berguna, yang tidak memancing konflik pertengkaran di antara sesama pengguna media sosial.
3. "Cross-check" Kebenaran Berita. 
Berita yang menjelekkan orang lain atau pihak lain tidak jarang dijumpai di media sosial yang tujuannya adalah menjatuhkan pesaing dengan berita-berita yang sudah direkayasa. Maka lakukan lebih dulu "cross-check" yaitu mencari tahu terlebih dahu-lu.kebenaran informasi tersebut dengan mencari tahu dari sumber-sumber berita lain yang sudah jelas diakui dan terpercaya.  
4. Jangan langsung membagikan berita ke orang lain karena merasa telah tahu semuanya, padahal anda baru melihat judul beritanya saja. 
Ketika melihat judul berita yang sensasional atau mengandung provokasi, maka pengguna media sosial yang belum dewasa atau pengguna baru yang belum lama menggunakan media sosial biasanya ingin secepat mungkin menyebarkan berita tersebut, karena ingin dianggap oleh teman-temannya bahwa dia sudah tahu semuanya dan dia juga yang lebih lebih dulu tahu sehingga ingin dipandang yang pertama kali menyebarkannya. Pengguna media sosial yang belum cerdas juga ingin segera mengomentari tanpa membaca baik-baik keseluruhan isi berita terlebih dahulu. Bila komentar itu berupa caci maki, atau menyudutkan pihak tertentu yang berhubungan dengan nama perusahaan besar / instansi / merk dagang / perseorangan yang belum tentu bersalah, tidak mustahil bila yang berkomentar itu dapat dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Oleh karena itu jadilah pengguna yang cerdas, jangan asal membagikan berita karena merasa telah tahu semuanya padahal anda baru melihat judul beritanya saja.
5. Kalau ingin berpendapat, maka berpendapatlah berdasarkan sumber-sumber berita yang memiliki legalitas sudah terpercaya. 
Mengeluarkan opini di media sosial memang tidak dilarang, asalkan sudah memiliki sumber-sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan, terlebih bila opini yang ingin disampaikan itu bernilai negatif pada seseorang, yang artinya anda bisa saja dilaporkan oleh orang lain dengan menggunakan UU ITE. Seperti diketahui, isi UU ITE Pasal 27 Ayat 3 adalah melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik  dan / atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik. 
6. Jangan menggunakan media sosial bila anda sedang emosi. 
Ketika sedang jengkel atau mempunyai masalah pribadi, secara tidak sadar banyak orang dengan spontan menggunakan umpatan, caci makian kasar kepada orang lain di media sosial. Oleh karena itu, seperti halnya bila di dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan rumah / kantor kita harus menjaga ucapan kita, maka di media sosial pun kita juga jangan suka menyakiti perasaan pengguna-pengguna media sosial lain dengan berkomentar atau beropini yang menyudutkan orang lain.
7. Hargai Hasil Karya Orang Lain. 
Bila menyebarkan informasi, berupa tulisan, atau foto, atau musik, atau video milik orang lain, cantumkan sumbernya sebagai bentuk penghargaan untuk hasil karya tersebut. Jangan asal menyebarkan saja tanpa memberikan sumber tersebut.
8. Jangan umbar data-data informasi detail pribadi anda di media sosial.
Mengumbar data-data pribadi anda di media sosial adalah sama saja dengan memberikan informasi kepada orang lain yang mungkin ingin berniat jahat kepada kita. Jangan sampai ada orang yang tidak anda kenal menggunakan data-data anda, untuk menipu kerabat anda dengan berpura-pura sebagai kawan dekat untuk meminta uang, dsb. Jadi bersikap dan berpikirlah secara bijak dalam menginformasikan segala hal tentang diri anda di media sosial.
Media sosial saat ini memang menjadi bagian kehidupan untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan sekarang, media sosial cenderung digunakan untuk menyebarkan informasi. Namun karena kecero-bohannya atau karena kurangnya adab sopan santun (etika), banyak pengguna media sosial yang akhirnya beurusan dengan aparat hukum negara. 
"Guna menghindari masalah ini terjadi, etika pengguna medsos itu harus dijaga sehingga tidak menghina atau menuduh orang lain tanpa ada alasan yang tepat. Pasalnya, penyebar informasi itulah yang bakal terjerat hukum," demikian dikatakan oleh Nonot Harsono, chairman Mastel Institute, dalam program Diskusi Sindotrijaya dengan tema 'Telekomunikasi, Medsos, dan Kita' (26/11) seperti dilaporkan oleh Bebmen.com.
Hal senada juga dilontarkan oleh Henry Subiakto, staf ahli bidang hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) pada program diskusi tersebut. Ia mengimbau pengguna media sosial untuk berhati-hati.
Adapun satu-satunya cara untuk mencegah media sosial digunakan untuk hal-hal negatif khususnya di kalangan generasi muda, seperti telah disampaikan dalam pesan Presiden Jokowi pada hari guru nasional beberapa waktu lalu, antara lain adalah menanamkan katakter dan nilai-nilai yang positif kepada generasi muda. 
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari media sosial, bila digunakan secara benar. Marilah kita gunakan media sosial kita dengan sebaik-baiknya.

Editor: Try Raharjo
Sumber: tempo.co, liputan6.com,bebmen.com, rappler.com, nu.or.id, dan berbagai sumber
 lain.

Indonesia dan Keberagaman Budayanya

Akhir-akhir ini seruan kebhinekaan di Indonesia banyak diserukan oleh berbagai elemen bangsa. Disamping sebagai bentuk respon atas dinamika politik nasional, hal ini juga merupakan ekspresi yang bertepatan dengan peringatan hari toleransi sedunia pada 19 November yang lalu. Liputan khusus edisi kali ini bertujuan untuk mengingatkan kembali arti pentingnya kesadaran bahwa Indonesia adalah negeri yang memiliki beragam budaya, suku bangsa, dan kemajemukan yang sesungguhnya adalah kekayaan bangsa kita, yang justru dapat memperkuat integritas dan jatidiri kita sebagai bangsa yang mampu bersatu, demokratis, dan berdaulat.

***
Indonesia merupakan negara kepulauan memiliki yang wilayah luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Disamping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati yang dimiliki,  ada tidak kurang dari 17.504 pulau tersebar di seluruh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indone-sia. Indonesia juga dikenal di dunia dengan keanekaragaman budayanya. Terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Di Pulau Sumatra saja ada: Aceh, Batak, Minang, Lampung, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dsb). Di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur ada: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dsb. Di Kalimantan ada: Dayak, Melayu, Banjar, dsb. Di Sulawesi ada: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dsb.; Di Maluku ada: Ambon, Ternate, dsb. Di Papua ada: Dani, Asmat, dsb. Di Pulau Jawa: ada Sunda, Badui, dan Jawa. Disamping itu ada Madura, Bali, dsb.
Agama dan keyakinan yang dianut bangsa Indonesia pun berbeda-beda. Disamping enam agama yang diakui, yakni: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, hingga 2016 ini populasi penghayat kepercayaan di Indonesia pun cukup banyak, yaitu berkisar antara 10 - 12 juta orang yang terdiri atas 184 penghayat. Semuanya dapat hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup beragama.

KARAKTERISTIK BUDAYA NASIONAL
Guru bangsa Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Sementara itu menurut antropolog Koentjoroningrat, kebudayaan nasional Indonesia adalah kebudayaan yang didukung oleh sebagian besar rakyat Indonesia, bersifat khas dan dapat dibanggakan oleh warga Indonesia. Adapun wujud dari budaya nasional yang kita miliki adalah:
a. Bahasa
Yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berfungsi sebagai sarana komunikasi berbagai suku bangsa dan alat penghubung antar-daerah, dan antar budaya.
b. Busana adat.
Termasuk disini adalah seni berpakaian seperti misalnya batik dan kebaya yang menjadi aset budaya bangsa dan jatidiri bagi orang Indonesia.
c. Artefak
Ada banyak sekali artefak yang menjadi kebanggaan nasional, misalnya Candi Borobudur dan candi Prambanan.
d. Norma dan nilai-nilai perilaku.
Termasuk disini adalah kearifan-kearifan lokal yang di tiap daerah dapat memiliki sebutan yang berbeda-beda. Untuk gotong royong, misalnya, di beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan sambatan, gugur gunung, dsb.
Contoh bentuk kearifan lokal lain yang dimiliki bangsa Indonesia adalah: sistem pertanian subak di Bali, ramah tamah, musyawarah, tepa selira, dsb. Dalam pembangunan bangsa, nilai-nilai luhur budaya daerah semacam tersebut di atas harus dijaga dan dikembangkan karena justru yang demikian adalah merupakan identitas / jatidiri budaya nasional.

POTENSI KEBERAGAM-AN BUDAYA
Seorang peneliti antropolog yaitu Cornelis van Vollenhoven (1874 - 1933) yang terkenal dengan bukunya yang berjudul "Hukum Adat" sehingga dijuluki sebagai Bapak Hukum Adat, mengungkapkan bahwa walaupun Indonesia  terdiri dari 19 hukum adat, tetapi pada dasarnya Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang bermukim di wilayah yang tersebar dalam ratusan pulau yang ada di Indonesia. Tiap suku bangsa memiliki ciri fisik, bahasa, kesenian, adat istiadat yang berbeda. Intinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya. Beberapa aspek keberagaman budaya Indonesia antara lain suku, bahasa, agama dan kepercayaan, serta kesenian. Kekayaan budaya ini merupakan daya tarik dan potensi yang besar untuk kemajuan sektor pariwisata yang memiliki partisipasi dalam perekonomian.
Tradisi keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa terlihat di bumi Nusantara sejak dulu kala. Kini, sebagai warga dengan jumlah mayoritas, umat Islam di Indonesia menghargai kerukunan antarumat beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk seluruh isi alam mereka perhatikan. Pada masyarakat yang begitu tinggi toleransinya, gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi kemasyarakat.

KERAWANAN SOSIAL PADA MASYARAKAT MAJEMUK
Bangsa yang majemuk atau multikultural seperti yang ada di Indonesia, adalah terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional menjadi sebuah bangsa dalam wadah nasional. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang ada di Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname. Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk demikian, sosiolog Koentjoroningrat mengingatkan adanya beberapa kerawanan sumber konflik antar suku bangsa yang harus kita waspadai, yang sedikitnya ada lima macam yaitu:
(1) jika dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama;
(2) jika warga suatu suku bangsa mencoba memasukkan unsur-unsur dari kebudayaan kepada warga dari suatu suku bangsa lain;
(3) jika warga satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku bangsa lain yang berbeda agama;
(4) jika warga satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa secara politis;
(5) potensi konflik terpendam dalam hubungan antar suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

Dari hal tersebut di atas, untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka sebaiknya kita mampu mengenali kerawanan-kerawanan yang harus kita waspadai, yaitu bila ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui antara lain goncangan terhadap kerukunan antar umat beragama yang mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu biasanya sengaja diciptakan oleh sekelompok orang yang memiliki agenda tertentu, dan memanfaatkan kondisi politik yang tidak stabil. Tujuannya agar umat beragama dapat terpengaruh ke dalam konflik yang akan disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam konflik yang sebenarnya tidak mereka inginkan.

SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA TELAH MEMPERSATUKAN NUSANTARA SEJAK DULU
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang dimiliki bangsa Indonesia, merujuk pada sumber asalnya yaitu  Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV. Semboyan tersebut merupakan seloka yang menekankan pentingnya kerukunan antar umat yang berbeda pada masa itu yaitu penganut Syiwa dan penganut Buddha. Sekalipun pada masa itu sudah ada perbedaan keyakinan, tetapi kedamaian dapat terpelihara. Makna dari Bhineka Tunggal Ika adalah persaudaraan sebagai sebuah keluarga besar yang dilahirkan oleh Ibu Pertiwi yang disebut sebagai Nusantara yaitu Indonesia. Kerukunan dan toleransi dengan demikian sudah merupakan akar budaya nasional kita.
Kehidupan rukun yang telah diwariskan secara turun-temurun mengekalkan rakyat Nusantara dalam kebersamaan dan kerukunan yang membuat ketentraman di negeri kita terbukti relatif lebih solid ketimbang yang ada di belahan-belahan dunia lain.
MEMBANGUN SIKAP KRITIS, TOLERAN DAN EMPATI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Antropolog Parsudi Suparlan mengatakan bahwa multikulturalisme (keragaman budaya) atau pluralisme (kemajemukan) adalah pengakuan dan penghargaan atas kesederajatan pada adanya perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme ini sejatinya saling mendukung dengan proses demokrasi, yang menekankan bahwa tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan kesetaraan secara individual (yaitu berupa pengakuan atas hak azasi manusia), dalam berhadapan dengan kekuasaan dan atau masyarakat setempat. Dengan demikian, untuk memungkinkan tumbuh dan kembangnya sebuah bangsa yang memiliki keragaman budaya dalam integrasi bangsa, dibutuhkan kesederajatan budaya-budaya yang berkembang. Untuk itu komunikasi antar budaya harus dibangun dengan menjaga sikap kritis, toleransi dan empati (atau tepa salira).
Kekayaan budaya bangsa yang kita miliki semestinya menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi kita, yang memperkuat kesadaran bahwa kebudayaan yang majemuk dapat dipersatukan dengan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)
Keterangan foto: Parade Bhinneka Tunggal Ika diselenggarakan pada 19 November 2016, untuk merayakan hari toleransi sedunia. Disamping itu sebagai ekspresi menyuarakan seruan kebhinekaan. Aksi semacam ini juga dilakukan di Surabaya.
Editor: Try Raharjo
Sumber: tirzarest.wordpress.com


11th Joint Conference of Chemistry 2016

The design, synthesis, and modification of novel materials and biomaterials allow for enhanced performance for industrial and enviromental related applications. In the meantime, the research and dvelopment in five years has been increasing, involving researchers from government institutions and academia from many universities all over the world. To support the acceleration and the integration, it is necessary to provide a forum which gathers all national stakeholders to build mutual understanding, to share information, resources and roles, and to go with national development direction to final goal of welfare of the nation and worldwide in general.
The 11th Joint Conference of Chemistry 2016 in conjunction with the 4th Regional Biomaterials Scientific Meeting 2016 on "Material Chemistry Development for Future Medicine, Industry, Environmental and Biomaterial Application" will be held on 15 - 16 September in Java Heritage, Purwokerto, Central Java, Indonesia with keynote speakers:
(1) Prof. Akihiko Chiba (Institute of Materials Research, Thoku Univ. Japan)
(2) Assoc. Prof. Dr. Yan Mulyana (Tokyo Metropolitant Univ. Japan)
(3) Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko (Univ. of Indonesia)
Prof Dr. Ahmad Zuhairi Abdullah (Malaysia)
(4) Prof. Dr. Hasan Y. Aboul-Enein (National Research Centre, Cairo, Egypt)
(5) Roy Andreas Ph.D (Jenderal Soedirman Univ., Indonesia).
Invited speakers: Prince of Songkla Univ. Thailand, Badan Tenaga Atom Nasional, Institut Pertanian Bogor, Diponegoro University, Sebelas Maret University, and Semarang State University.
This conference is organized by Jenderal Soedirman University, Diponegoro University, Sebelas Maret University, Semarang State University, Satya Wacana Christian University, and Indonesian Biomaterials Society.


Deklarasi Juanda: Mengembalikan Kejayaan Maritim Nusantara

Kejayaan Nusantara sebagai kekuatan maritim dunia tercatat sejak dulu kala. Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M) misalnya, telah mendasarkan kebijakan pemerintahannya pada penguasaan alur pelayaran, jalur perdagangan, serta wilayah-wilayah strategis sebagai pangkalan kekuatan laut. Nakhoda Nusantara di bawah Kertanegara mengalami kejayaan maritim yang besar dan kuat dengan konsepsi Cakrawala Mandala Dwipantara, sedang konsep besar pun terwujud pada masa Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada. Demikian pun pada masa Kerajaan Sriwijaya, hingga Kesultanan Demak, Nusantara merupakan negara maritim yang kuat. Beberapa rekam sejarah diatas sudah dapat memberikan bukti bahwa pada saat itu, Nusantara berhasil memak-simalkan laut untuk memperluas pengaruhnya di berbagai kawasan strategis dunia.
Pada masa revolusi kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa 21 Agustus 1945 atau 4 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah hari ketika kekuatan angkatan laut Republik Indonesia berhasil mengambilalih kekuasan militer laut Jepang. Dengan peralatan sederhana, militer Indonesia dapat mengalahkan Jepang yang sudah menggunakan peralatan yang jauh lebih mutakhir kala itu. Tanggal 21 Agustus, kemudian diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Namun mungkin banyak dari kita yang tidak tahu tentang hal ini.
Sejarah sudah membuktikan bahwa kelautan Indonesia sangat disegani bangsa lain bukan hanya kekayaan bawah lautnya tapi juga kekuatan maritimnya.
Pada era awal kemerdekaan RI semangat mengembalikan kejayaan bangsa maritim sudah diserukan. Presiden Soekarno. dalam salah satu pidato yang disampaikannya pada saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya (1953) berpesan, agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Kekuatan Maritim harus dipertimbangkan mengingat hampir 75 persen wilayah Indonesia berupa laut. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga luasnya berupa lautan. Hal itu bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia yang mencapai sekira 81.000 km dan menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.

DEKLARASI DJUANDA
Status negara kepulauan didapat melalui perjalanan sejarah yang panjang. Hal itu diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang diakui sebagai kebijakan kelautan Indonesia pertama. Kala itu, Indonesia merasa kebijakan kelautan warisan masa kolonial sudah tidak sesuai lagi dengan konsep Tanah Air yang mene-kankan keterpaduan tanah dan air sebagai kekuatan nasional bangsa Indonesia.
Didasari kesadaran akan ancaman yang mungkin timbul karena faktanya wilayah laut Indonesia merupakan wilayah terbuka, sehingga dengan leluasa kekayaan laut Indonesia berpotensi dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindungi, Deklarasi Juanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Isi Deklarasi Juanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja adalah sbb:
1. Bahwa Indonesia menya-takan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengan-dung suatu tujuan:
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat;
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan;
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet itu kemudian menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie pada 1939 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939, yang dijiwai prinsip Mare Liberum (Freedom of The Sea) dari seorang genius hukum dan juga bapak hukum internasional asal Belanda, Hugo Grotius (1604). Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung. Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar. Faktanya, pada waktu itu banyak kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum teritorial laut 1939.
Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/ PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Meskipun awalnya mendapat penolakan dunia internasional, tetapi akhirnya mendapat respons pada pengakuan internasional melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut di Montego Bay Jamaica tahun 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982).
Pemerintah Indonesia pun meratifikasi UNCLOS 1982 dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention of the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang hukum laut). UNCLOS 1982 merupakan bentuk pengakuan formal dari dunia terhadap kedaulatan NKRI sebagai negara kepulauan dan mulai berlaku sebagai hukum positf sejak 16 November 1994. Artinya, butuh 37 tahun Deklarasi Djuanda diakui oleh dunia internasional. Deklarasi Djuanda menjadikan luas perairan NKRI mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2, merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas wilayah Indonesia keseluruhan.
Berkat Deklarasi Djuanda, laut kini menjadi penghubung antar-bangsa, antar-pulau. Deklarasi Djuanda menegaskan antara darat, laut, dasar laut, udara, dan seluruh kekayaan, semua dalam satu kesatuan wilayah Indonesia. Pada masa Belanda, bahwa yang dimaksud tanah air, hanya tanah dan air yang ada di darat, dan di sepanjang pantai. Namun, Djuanda melihat jauh ke depan. Dia berani mengumumkan kepada dunia bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda telah mencatatkan sejarah kegemilangan bangsa dalam menaklukkan dunia tanpa kekuatan senjata tetapi dengan kepiawaian berdiplomasi. Deklarasi ini memberikan kemerdekaan Indonesia seutuhnya secara kewilayahan dan menjadikannya sebuah kesatuan dalam bingkai wawasan Nusantara.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
Dalam konteks bangsa Indonesia sekarang, peringatan ini menemukan momentum yang sangat penting. Sesuai dengan visi pemerintah di bawah nahkoda Presiden Joko Widodo mewujud-kan poros maritim dan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai kekuatan sosial politik utama di dunia berbasis kekuatan maritim. Saatnya kita mulai menata kembali untuk bisa mengembalikan jiwa kebaharian dan melaksanakan pembangunan kelautan. (*)
EDITOR: TRY RAHARJO
Dari berbagai sumber

Mulai 2016, Hari Jadi Banyumas Tanggal 22 Februari

Mulai tahun 2016 ini, peringatan Hari Jadi Banyumas jatuh pada tanggal 22 Februari. Sebelumnya peringatan Hari Jadi Banyumas bertanggal 6 April. Perubahan ini berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Perda tersebut mencabut Perda No 2 Tahun 1990 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas.
Dengan perubahan hari jadi tersebut, ada perbedaan rentang waktu 11 tahun, dimana Hari Jadi Banyumas yang baru ditetapkan 11 tahun lebih tua. Sehingga di tahun 2016 ini, Banyumas  merayakan hari jadinya yang ke-445. Berikut ini dasar terjadinya perubahan tersebut.
Bupati Banyumas ke-28 Kol Inf H Djoko Sudantoko pernah mengatakan bahwa pengkajian ulang hari jadi bukan hal yang tabu, melainkan justru suatu keharusan, agar tidak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi penerus. Apabila kelak ditemukan fakta baru atau ditemukan sumber dokumen yang lebih kuat, lengkap dan akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan menyangkut asal usul Kabupaten Banyumas yang dapat memberi kebanggaan bagi masyarakat Banyumas, maka hari jadi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi gugur, diganti oleh tanggal hari jadi menurut fakta yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Dan karena telah ditemukan sumber dan dokumen yang lebih kuat maka DPRD Kabupaten Banyumas pada tahun 2015, telah membentuk Panitia Khusus untuk meneliti Sejarah Banyumas.
Berikut kami cuplikan Laporan Pansus DPRD Kabupaten Banyumas yang diketuai oleh H Bambang Pudjianto, BE dan menjadi dasar Penetapan Perda Nomor 10 Tahun 2105.
Masalah yang paling hakiki dalam penulisan sejarah adalah didasarkan atas fakta, dan fakta itu ditemukan pada sumber sejarah yang berupa dokumen. Jadi, ketika dokumen itu tidak ditemukan, maka dengan sendirinya fakta sejarah itu tidak ada. Jika suatu hal dipaksakan sebagai suatu fakta, padahal tidak didasarkan pada sumber sejarah, maka fakta itu pada hakikatnya adalah fakta yang tidak tepat.
Sesuai dengan logika tersebut, berarti penetapan tanggal 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas didasarkan atas fakta yang tidak tepat, karena jika dilacak kembali, maka fakta itu tidak dijumpai pada sumbernya. Oleh karena itu, 6 April 1582 menjadi ahistoris dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara metodologis.

Sejarah memang tidak pernah ditulis secara sempurna oleh generasi manapun karena sejarah adalah masa lalu yang sumber dan faktanya tidak semuanya dapat disadap oleh sejarawan. Tentu sejarah akan selalu ditulis kembali sebagai suatu karya penyempurnaan dari hasil yang diperoleh generasi penulis terdahulu sehingga sejarah bukanlah sesuatu yang pasti. Kepastian dalam sejarah itu bersifat relatif. Hal itu sangat tergantung oleh keberadaan sumber-sumber sejarah yang bisa diperoleh.
Berdasarkan penelitian dan telaah yang mendalam, terdapat sebuah Naskah yang sangat penting dan menentukan dalam kaitannya penelusuran sumber sejarah untuk menentukan kapan hari jadi Kabupaten Banyumas yang sebenarnya, naskah tersebut dikenal dengan nama “Naskah Kalibening”.
Pada waktu menjelang diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten DATI II Banyumas tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sebagai Peneliti, tidak memperoleh sumber yang tersimpan pada juru kunci makam Kalibening.
Sumber naskah Kalibening tergolong naskah yang tidak sembarang waktu boleh dibuka dan dibaca. Penelitian yang tergesa-gesa tidak memungkinkan Soekarto untuk membaca teks tersebut, apalagi teks tersebut termasuk sulit bacaannya karena banyak tulisannya yang rusak dan tidak terbaca, bahkan beberapa halaman dimungkinkan telah lenyap.
Naskah Kalibening mencatat suatu peristiwa yang berkaitan dengan penyerahan upeti kepada Sultan Pajang pada tanggal 27 Pasa hari Rabu sore. Memang diakui bahwa teks Kalibening cenderung anonim, tokohnya tidak disebutkan namanya, tetapi jatidiri tokoh-tokoh itu bisa diinterpretasikan melalui perbandingan dengan teks-teks yang lain.
Teks Kalibening menyebut peristiwa penyerahan upeti itu berkaitan dengan “Sang Mertua” (rama), sehingga tanggal tersebut dapat dipakai sebagai patokan hari jadi Kabupaten Banyumas. Sedangkan angka tahun yang dipakai adalah berdasarkan kesaksian teks yang dikandung oleh Naskah Krandji - Kedhungwuluh dan catatan tradisi pada Makam Adipati Mrapat di Astana Redi Bendungan (Dawuhan) yang menyatakan bahwa tahun 1571 adalah awal kekuasaan Adipati Mrapat (R. Joko Kaiman).
Tahun 1571-1582 adalah periode kekuasaan Adipati Mrapat. Jadi, tahun 1582 bukan merupakan tahun awal, tetapi merupakan tahun akhir kekuasaan Adipati Mrapat. Disamping itu, tahun 1571 juga terpampang pada Papan Makam dan Batu Grip Makam Adipati Mrapat yang masih ada pada tanggal 1 Januari 1984, setelah itu makam direnovasi oleh Bupati Roedjito, renovasi tersebut telah menghilangkan data tersebut.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, maka tanggal 27 Pasa tahun Masehi 1571 bisa ditetapkan sebagai hari jadi.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa bulan Ramadhan pada tahun 1571 Masehi jatuh pada tahun 978 H. Setelah dihitung, maka ditemukan tanggal 27 Ramadhan 978 H dan setelah dikonversikan dengan tahun Masehi, maka ditemukan tanggal 22 Pebruari 1571 Masehi yang bertepatan dengan Kamis Wage (Rabu sore).
Tanggal 27 Ramadhan 978 H atau tanggal 22 Februari 1571 Masehi, ditentukan sebagai patokan hari jadi Kabupaten Banyumas berdasarkan perhitungan tanggal dan hari dimana R. Joko Kaiman (Adipati Mrapat) yang bergelar Adipati Warga Utama II diangkat atau ditetapkan oleh Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba VII menggantikan rama mertuanya yaitu Adipati Warga Utama I (Adipati Wirasaba VI).
R. Joko Kaiman yang telah diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII, kemudian membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat  wilayah, yaitu:
a. Banjar Pertambakan diberikan kepada Kiai Ngabehi Wirayudo.
b. Merden diberikan kepada Kiai Ngabehi Wira-kusumo.
c. Wirasaba diberikan kepada Kiai Ngabehi Wargawijoyo.
d. Sedangkan beliau merelakan kembali ke Banyumas dengan maksud mulai membangun pusat pemerintahan yang baru.
Daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan ialah hutan Tembaga sebelah barat laut daerah Kejawar dan sekarang terletak di pertemuan Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan di Desa Kalisube dan Desa Pekunden Kecamatan Banyumas.
Dengan demikian, tanggal 27 Ramadhan 978 H atau 22 Pebruari 1571 lebih bisa dipertanggungjawabkan karena ada sumbernya atau ada dokumennya. Tanggal tersebut merupakan alternatif kuat untuk ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas sebelum ditemukannya sumber sejarah yang lain yang lebih kuat.



Catatan : Tanggal 27 Pasa (27 Ramadhan) yang tercantum dalam Babad Banyumas Kelibening yang berasal dari Naskah abad ke-16 atau 17 Masehi. (Laporan Penelitian Sugeng Priyadi: “Babad Banyumas Kalibening” IKIP Muhammadiyah Purwokerto 1991).
Keterangan:  Yang dimaksud Sang Mertua (Rama) adalah Adipati Warga Utama I (Adipati Wirasaba VI).  Adipati Warga Utama I adalah mertua dari R. Joko Kaiman yang bergelar Adipati Warga Utama II.
Semoga informasi ini dapat menambah kecintaan kita terhadap Banyumas .
Sumber: Humas Kab. Banyumas / Editor: Try