11th Joint Conference of Chemistry 2016

The design, synthesis, and modification of novel materials and biomaterials allow for enhanced performance for industrial and enviromental related applications. In the meantime, the research and dvelopment in five years has been increasing, involving researchers from government institutions and academia from many universities all over the world. To support the acceleration and the integration, it is necessary to provide a forum which gathers all national stakeholders to build mutual understanding, to share information, resources and roles, and to go with national development direction to final goal of welfare of the nation and worldwide in general.
The 11th Joint Conference of Chemistry 2016 in conjunction with the 4th Regional Biomaterials Scientific Meeting 2016 on "Material Chemistry Development for Future Medicine, Industry, Environmental and Biomaterial Application" will be held on 15 - 16 September in Java Heritage, Purwokerto, Central Java, Indonesia with keynote speakers:
(1) Prof. Akihiko Chiba (Institute of Materials Research, Thoku Univ. Japan)
(2) Assoc. Prof. Dr. Yan Mulyana (Tokyo Metropolitant Univ. Japan)
(3) Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko (Univ. of Indonesia)
Prof Dr. Ahmad Zuhairi Abdullah (Malaysia)
(4) Prof. Dr. Hasan Y. Aboul-Enein (National Research Centre, Cairo, Egypt)
(5) Roy Andreas Ph.D (Jenderal Soedirman Univ., Indonesia).
Invited speakers: Prince of Songkla Univ. Thailand, Badan Tenaga Atom Nasional, Institut Pertanian Bogor, Diponegoro University, Sebelas Maret University, and Semarang State University.
This conference is organized by Jenderal Soedirman University, Diponegoro University, Sebelas Maret University, Semarang State University, Satya Wacana Christian University, and Indonesian Biomaterials Society.


Deklarasi Juanda: Mengembalikan Kejayaan Maritim Nusantara

Kejayaan Nusantara sebagai kekuatan maritim dunia tercatat sejak dulu kala. Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M) misalnya, telah mendasarkan kebijakan pemerintahannya pada penguasaan alur pelayaran, jalur perdagangan, serta wilayah-wilayah strategis sebagai pangkalan kekuatan laut. Nakhoda Nusantara di bawah Kertanegara mengalami kejayaan maritim yang besar dan kuat dengan konsepsi Cakrawala Mandala Dwipantara, sedang konsep besar pun terwujud pada masa Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada. Demikian pun pada masa Kerajaan Sriwijaya, hingga Kesultanan Demak, Nusantara merupakan negara maritim yang kuat. Beberapa rekam sejarah diatas sudah dapat memberikan bukti bahwa pada saat itu, Nusantara berhasil memak-simalkan laut untuk memperluas pengaruhnya di berbagai kawasan strategis dunia.
Pada masa revolusi kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa 21 Agustus 1945 atau 4 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah hari ketika kekuatan angkatan laut Republik Indonesia berhasil mengambilalih kekuasan militer laut Jepang. Dengan peralatan sederhana, militer Indonesia dapat mengalahkan Jepang yang sudah menggunakan peralatan yang jauh lebih mutakhir kala itu. Tanggal 21 Agustus, kemudian diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Namun mungkin banyak dari kita yang tidak tahu tentang hal ini.
Sejarah sudah membuktikan bahwa kelautan Indonesia sangat disegani bangsa lain bukan hanya kekayaan bawah lautnya tapi juga kekuatan maritimnya.
Pada era awal kemerdekaan RI semangat mengembalikan kejayaan bangsa maritim sudah diserukan. Presiden Soekarno. dalam salah satu pidato yang disampaikannya pada saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya (1953) berpesan, agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Kekuatan Maritim harus dipertimbangkan mengingat hampir 75 persen wilayah Indonesia berupa laut. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga luasnya berupa lautan. Hal itu bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia yang mencapai sekira 81.000 km dan menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.

DEKLARASI DJUANDA
Status negara kepulauan didapat melalui perjalanan sejarah yang panjang. Hal itu diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang diakui sebagai kebijakan kelautan Indonesia pertama. Kala itu, Indonesia merasa kebijakan kelautan warisan masa kolonial sudah tidak sesuai lagi dengan konsep Tanah Air yang mene-kankan keterpaduan tanah dan air sebagai kekuatan nasional bangsa Indonesia.
Didasari kesadaran akan ancaman yang mungkin timbul karena faktanya wilayah laut Indonesia merupakan wilayah terbuka, sehingga dengan leluasa kekayaan laut Indonesia berpotensi dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindungi, Deklarasi Juanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Isi Deklarasi Juanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja adalah sbb:
1. Bahwa Indonesia menya-takan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengan-dung suatu tujuan:
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat;
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan;
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet itu kemudian menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie pada 1939 Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939, yang dijiwai prinsip Mare Liberum (Freedom of The Sea) dari seorang genius hukum dan juga bapak hukum internasional asal Belanda, Hugo Grotius (1604). Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung. Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar. Faktanya, pada waktu itu banyak kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum teritorial laut 1939.
Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/ PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Meskipun awalnya mendapat penolakan dunia internasional, tetapi akhirnya mendapat respons pada pengakuan internasional melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut di Montego Bay Jamaica tahun 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982).
Pemerintah Indonesia pun meratifikasi UNCLOS 1982 dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention of the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang hukum laut). UNCLOS 1982 merupakan bentuk pengakuan formal dari dunia terhadap kedaulatan NKRI sebagai negara kepulauan dan mulai berlaku sebagai hukum positf sejak 16 November 1994. Artinya, butuh 37 tahun Deklarasi Djuanda diakui oleh dunia internasional. Deklarasi Djuanda menjadikan luas perairan NKRI mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2, merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas wilayah Indonesia keseluruhan.
Berkat Deklarasi Djuanda, laut kini menjadi penghubung antar-bangsa, antar-pulau. Deklarasi Djuanda menegaskan antara darat, laut, dasar laut, udara, dan seluruh kekayaan, semua dalam satu kesatuan wilayah Indonesia. Pada masa Belanda, bahwa yang dimaksud tanah air, hanya tanah dan air yang ada di darat, dan di sepanjang pantai. Namun, Djuanda melihat jauh ke depan. Dia berani mengumumkan kepada dunia bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda telah mencatatkan sejarah kegemilangan bangsa dalam menaklukkan dunia tanpa kekuatan senjata tetapi dengan kepiawaian berdiplomasi. Deklarasi ini memberikan kemerdekaan Indonesia seutuhnya secara kewilayahan dan menjadikannya sebuah kesatuan dalam bingkai wawasan Nusantara.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
Dalam konteks bangsa Indonesia sekarang, peringatan ini menemukan momentum yang sangat penting. Sesuai dengan visi pemerintah di bawah nahkoda Presiden Joko Widodo mewujud-kan poros maritim dan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai kekuatan sosial politik utama di dunia berbasis kekuatan maritim. Saatnya kita mulai menata kembali untuk bisa mengembalikan jiwa kebaharian dan melaksanakan pembangunan kelautan. (*)
EDITOR: TRY RAHARJO
Dari berbagai sumber

Mulai 2016, Hari Jadi Banyumas Tanggal 22 Februari

Mulai tahun 2016 ini, peringatan Hari Jadi Banyumas jatuh pada tanggal 22 Februari. Sebelumnya peringatan Hari Jadi Banyumas bertanggal 6 April. Perubahan ini berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Perda tersebut mencabut Perda No 2 Tahun 1990 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas.
Dengan perubahan hari jadi tersebut, ada perbedaan rentang waktu 11 tahun, dimana Hari Jadi Banyumas yang baru ditetapkan 11 tahun lebih tua. Sehingga di tahun 2016 ini, Banyumas  merayakan hari jadinya yang ke-445. Berikut ini dasar terjadinya perubahan tersebut.
Bupati Banyumas ke-28 Kol Inf H Djoko Sudantoko pernah mengatakan bahwa pengkajian ulang hari jadi bukan hal yang tabu, melainkan justru suatu keharusan, agar tidak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi penerus. Apabila kelak ditemukan fakta baru atau ditemukan sumber dokumen yang lebih kuat, lengkap dan akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan menyangkut asal usul Kabupaten Banyumas yang dapat memberi kebanggaan bagi masyarakat Banyumas, maka hari jadi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi gugur, diganti oleh tanggal hari jadi menurut fakta yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Dan karena telah ditemukan sumber dan dokumen yang lebih kuat maka DPRD Kabupaten Banyumas pada tahun 2015, telah membentuk Panitia Khusus untuk meneliti Sejarah Banyumas.
Berikut kami cuplikan Laporan Pansus DPRD Kabupaten Banyumas yang diketuai oleh H Bambang Pudjianto, BE dan menjadi dasar Penetapan Perda Nomor 10 Tahun 2105.
Masalah yang paling hakiki dalam penulisan sejarah adalah didasarkan atas fakta, dan fakta itu ditemukan pada sumber sejarah yang berupa dokumen. Jadi, ketika dokumen itu tidak ditemukan, maka dengan sendirinya fakta sejarah itu tidak ada. Jika suatu hal dipaksakan sebagai suatu fakta, padahal tidak didasarkan pada sumber sejarah, maka fakta itu pada hakikatnya adalah fakta yang tidak tepat.
Sesuai dengan logika tersebut, berarti penetapan tanggal 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas didasarkan atas fakta yang tidak tepat, karena jika dilacak kembali, maka fakta itu tidak dijumpai pada sumbernya. Oleh karena itu, 6 April 1582 menjadi ahistoris dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara metodologis.

Sejarah memang tidak pernah ditulis secara sempurna oleh generasi manapun karena sejarah adalah masa lalu yang sumber dan faktanya tidak semuanya dapat disadap oleh sejarawan. Tentu sejarah akan selalu ditulis kembali sebagai suatu karya penyempurnaan dari hasil yang diperoleh generasi penulis terdahulu sehingga sejarah bukanlah sesuatu yang pasti. Kepastian dalam sejarah itu bersifat relatif. Hal itu sangat tergantung oleh keberadaan sumber-sumber sejarah yang bisa diperoleh.
Berdasarkan penelitian dan telaah yang mendalam, terdapat sebuah Naskah yang sangat penting dan menentukan dalam kaitannya penelusuran sumber sejarah untuk menentukan kapan hari jadi Kabupaten Banyumas yang sebenarnya, naskah tersebut dikenal dengan nama “Naskah Kalibening”.
Pada waktu menjelang diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten DATI II Banyumas tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sebagai Peneliti, tidak memperoleh sumber yang tersimpan pada juru kunci makam Kalibening.
Sumber naskah Kalibening tergolong naskah yang tidak sembarang waktu boleh dibuka dan dibaca. Penelitian yang tergesa-gesa tidak memungkinkan Soekarto untuk membaca teks tersebut, apalagi teks tersebut termasuk sulit bacaannya karena banyak tulisannya yang rusak dan tidak terbaca, bahkan beberapa halaman dimungkinkan telah lenyap.
Naskah Kalibening mencatat suatu peristiwa yang berkaitan dengan penyerahan upeti kepada Sultan Pajang pada tanggal 27 Pasa hari Rabu sore. Memang diakui bahwa teks Kalibening cenderung anonim, tokohnya tidak disebutkan namanya, tetapi jatidiri tokoh-tokoh itu bisa diinterpretasikan melalui perbandingan dengan teks-teks yang lain.
Teks Kalibening menyebut peristiwa penyerahan upeti itu berkaitan dengan “Sang Mertua” (rama), sehingga tanggal tersebut dapat dipakai sebagai patokan hari jadi Kabupaten Banyumas. Sedangkan angka tahun yang dipakai adalah berdasarkan kesaksian teks yang dikandung oleh Naskah Krandji - Kedhungwuluh dan catatan tradisi pada Makam Adipati Mrapat di Astana Redi Bendungan (Dawuhan) yang menyatakan bahwa tahun 1571 adalah awal kekuasaan Adipati Mrapat (R. Joko Kaiman).
Tahun 1571-1582 adalah periode kekuasaan Adipati Mrapat. Jadi, tahun 1582 bukan merupakan tahun awal, tetapi merupakan tahun akhir kekuasaan Adipati Mrapat. Disamping itu, tahun 1571 juga terpampang pada Papan Makam dan Batu Grip Makam Adipati Mrapat yang masih ada pada tanggal 1 Januari 1984, setelah itu makam direnovasi oleh Bupati Roedjito, renovasi tersebut telah menghilangkan data tersebut.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, maka tanggal 27 Pasa tahun Masehi 1571 bisa ditetapkan sebagai hari jadi.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa bulan Ramadhan pada tahun 1571 Masehi jatuh pada tahun 978 H. Setelah dihitung, maka ditemukan tanggal 27 Ramadhan 978 H dan setelah dikonversikan dengan tahun Masehi, maka ditemukan tanggal 22 Pebruari 1571 Masehi yang bertepatan dengan Kamis Wage (Rabu sore).
Tanggal 27 Ramadhan 978 H atau tanggal 22 Februari 1571 Masehi, ditentukan sebagai patokan hari jadi Kabupaten Banyumas berdasarkan perhitungan tanggal dan hari dimana R. Joko Kaiman (Adipati Mrapat) yang bergelar Adipati Warga Utama II diangkat atau ditetapkan oleh Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba VII menggantikan rama mertuanya yaitu Adipati Warga Utama I (Adipati Wirasaba VI).
R. Joko Kaiman yang telah diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII, kemudian membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat  wilayah, yaitu:
a. Banjar Pertambakan diberikan kepada Kiai Ngabehi Wirayudo.
b. Merden diberikan kepada Kiai Ngabehi Wira-kusumo.
c. Wirasaba diberikan kepada Kiai Ngabehi Wargawijoyo.
d. Sedangkan beliau merelakan kembali ke Banyumas dengan maksud mulai membangun pusat pemerintahan yang baru.
Daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan ialah hutan Tembaga sebelah barat laut daerah Kejawar dan sekarang terletak di pertemuan Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan di Desa Kalisube dan Desa Pekunden Kecamatan Banyumas.
Dengan demikian, tanggal 27 Ramadhan 978 H atau 22 Pebruari 1571 lebih bisa dipertanggungjawabkan karena ada sumbernya atau ada dokumennya. Tanggal tersebut merupakan alternatif kuat untuk ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas sebelum ditemukannya sumber sejarah yang lain yang lebih kuat.



Catatan : Tanggal 27 Pasa (27 Ramadhan) yang tercantum dalam Babad Banyumas Kelibening yang berasal dari Naskah abad ke-16 atau 17 Masehi. (Laporan Penelitian Sugeng Priyadi: “Babad Banyumas Kalibening” IKIP Muhammadiyah Purwokerto 1991).
Keterangan:  Yang dimaksud Sang Mertua (Rama) adalah Adipati Warga Utama I (Adipati Wirasaba VI).  Adipati Warga Utama I adalah mertua dari R. Joko Kaiman yang bergelar Adipati Warga Utama II.
Semoga informasi ini dapat menambah kecintaan kita terhadap Banyumas .
Sumber: Humas Kab. Banyumas / Editor: Try

DISKUSI PUBLIK PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM KOMISARIAT SOEDIRMAN PURWOKERTO


PURWOKERTO - Bertempat di Gedung Yustisia 2 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (29 November 2015), PMII Komisariat Soedirman menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tema “Mengantisipasi Berkembang-nya Faham Radikalisme Agama di Lingkungan Masyarakat”, dengan pembicara yaitu: Dr Ridwan MAg, Dr Noor Aziz Said MH dan Lutfi Mahasin PhD. Tampak hadir dalam diskusi publik yang dimoderatori oleh Turhamun MSi ini yaitu: Ketua Pengurus Komisariat PMII Unsoed Muhammad Muhaimin dan Ketua Umum Pengurus Cabang PMII Purwokerto Anwar Aziz S.Kom.I.
Ketua Panitia Diskusi Publik Riska Desiani Putri yang dtemui seusai pelaksanaan diskusi menyebutkan bahwa diskusi ini diselenggarakan terbuka. Terbukti dengan beragamnya latarbelakang peserta yang menghadiri, ada peserta mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang (Unes), pelajar dari Madrasah Aliyah Negeri 2 Purwokerto dan bahkan ada juga peserta dari kalangan non-muslim. Kegiatan ini menurut Riska diseleng-garakan atas kerjasama PMII Komisariat Unsoed dengan Lingkar Pergerakan Masyarakat (LKPM). Diskusi berjalan dengan suasana yang akrab, sehingga kegiatan yang berlangsung mulai dari sekitar pukul 09.00 hingga pada sekitar pukul 12.30 tidak terasa menjemukan. Acara diskusi ini juga diwarnai pembacaan puisi Sajak Atas Nama oleh seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, dan pembagian door prize untuk para peserta yang aktif mengajukan pertanyaan.

Menangkal Gerakan Radikalisme 

Salah seorang pembicara yaitu Dr Ridwan MAg yang adalah dosen di Fakultas Syariah IAIN Purwokerto dalam kesempatan ini mengungkapkan, bahwa pada dasarnya misi ajaran Islam adalah membangun suasana harmoni (ta'aluf), yakni keakraban, kekariban, kerukunan, dan saling pengertian.  Harmoni juga berarti tawafuq yaitu persetujuan, permufakatan, perjanjian dan kecocokan, kesesuaian,dan keselarasan. Implementasi misi Islam seperti ini dipraktikkan Rasulullah melalui Piagam Madinah. Tapi berbagai aksi kekerasan yang mengatas-namakan agama Islam sebagai-mana dapat kita ketahui melalui pemberitaan dunia internasional telah menjadikan Islam berada dalam posisi "tertuduh" sebagai agama teror dan penyebar aksi kekerasan, yaitu dengan mun-culnya gerakan pendirian negara Islam yang menamakan dirinya ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) dengan cita-cita mendirikan daulah Islamiyah di muka bumi. Atas nama jihad fi sabilillah mereka melakukan gerakan politik (harakah siyasiyah) dengan pendekatan-pendekatan kekerasan dan intimidasi yang sesungguhnya jauh dari hakikat ajaran Islam.
Pemaknaan jihad oleh gerakan radikal teror semacam itu telah disalahartikan dan  diletakan tidak pada tempatnya, sehingga atas nama jihad banyak darah tidak berdosa tumpah dan harta benda banyak dijarah. Selanjutnya, muncullah stigma bahwa Islam adalah agama teroris dan penebar kekerasan.
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, gerakan tersebut mengancam beberapa sendi pokok kehidupan berbangsa serta beragama. Dari sisi politik, gerakan tersebut mengancam keutuhan NKRI karena gerakan tersebut juga tidak mengakui Indonesia sebagai negara sah. Secara sosial budaya, gerakan tersebut mengancam kesatuan dan persatuan bangsa kerena mengingkari Bhineka Tunggal Ika sebagai filsafat dasar yang membingkai keragaman suku, bahasa, ras dan agama masyarakat Indonesia. Dari sisi agama, gerakan tersebut telah mengkampanyekan model-model pemahaman keagamaan dan gerakan radikal yang dalam banyak hal justeru merusak citra Islam sebagai agama damai. Untuk menangkal arus gerakan radikal berbasis agama Dr. H. Ridwan, M. Ag, yang juga Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Banyumas ini menyebutkan antara lain perlunya langkah-langkah sebagai berikut::
1. Mengembangkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam lembaga pendidikan
2. Melakukan kerjasama sinergis seluruh komponen bangsa  dalam mengeleminir ruang gerak faham radikal.
3. Membangun kesadaran kolektif tentang bahaya radikalisme  dan menem-patkan gerakan radikal berbasis agama sebagai musuh bersama.
4. Meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat dan menegakkan supremasi hukum.    
Acara ini didokumentasikan penuh oleh Multimedia Studio. Untuk mendapatkan rekaman video acara ini dengan durasi sekitar 2,5 jam silakan hubungi kami.

/TRY

Star Demo


Trend cake, Pastry & Bakery selalu berubah-ubah mengikuti selera pasar dan demand dari masyarakat, dan kini trend tersebut sudah mulai bergeser ke arah healthy lifestyle. Melalui kegiatan Star Demo, diharapkan dapat memberikan inspirasi seputar cake & pastry dengan tema “Pop Elegance in Healthy Way”.
Banyak paradigma yang menyatakan bahwa kue, roti ataupun dessert adalah salah satu penyumbang lemak di tubuh, namun dengan adanya berbagai modifikasi dan twist dari segi bahan salah satunya bahan baku alami (natural ingredients) paradigma tersebut dapat terpatahkan. Tidak hanya sehat berbagai resep tersebut juga tetap tampil cantik dan elegan yang tentunya dapat menarik para potential buyer. Event ini diharapkan dapat menambah inspirasi dan membuka peluang bisnis yang lebih luas lagi
Bertempat di Hotel Horison, Star Demo ini didokumentasikan oleh Multimedia Studio.

BANYUMAS DARI MASA KE MASA

ERA KERAJAAN HINDU DAN BUDDHA
Pada awal masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, wilayah Banyumasan terbagi dalam beberapa pengaruh, yaitu  pengaruh dari Kerajaan Tarumanagara di Barat dan pengaruh dari Kerajaan Kalingga di timur dengan sungai Cipamali atau Kali Brebes sebagai batas alamnya. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lainnya yang mempunyai pengaruh di wilayah ini selanjutnya adalah Kerajaan Galuh, Kerajaan Medang, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari dan Majapahit. Kemudian pada masa Kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Banyumasan menjadi bagian dari Kesultanan Demak.